Artikel ini ditulis oleh Agus Perry Kusuma, S.Kg, M.Kes

Pada awal mei 2020 kita dikejutkan dengan ditekennya Peraturan Presiden (Perpres) No  64 Tahun 2020 tentang perubahan kedua terhadap Perpres No 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Pada Pasal 34 Perpres No 64 Tahun 2020 dinyatakan tentang adanya kenaikan iuran kepesertaan Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, dimana untuk Kelas 1 terjadi kenaikan menjadi Rp 150.000, sedangkan untuk Kelas 2 ditetapkan sebesar Rp 100.000,- dan untuk Kelas 3 ditetapkan sebesar Rp 42.000,- dimana pemerintah mensubsidi sebesar Rp 16.500 dari iuran kepesertaan semula sebesar Rp 25.500,-.

Hal ini seolah mengulang kembali keinginan Pemerintah pada akhir tahun 2019, dalam menaikkan iuran kepesertaan,seperti tertuang dalam Perpres No 75 Tahun 2019, pemerintah menetapkan kenaikan untuk Klas 1 sebesar Rp 160.000, sedangkan untuk Kelas 2 sebesar Rp 110.000,- sedangkan untuk Kelas 3 sebesar Rp 42.000,- akan tetapi Perpres tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung dengan putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 7P/HUM/2020 dan dimenangkan oleh pihak pemohon yaitu Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI)

Dalam amar putusannya Mahkamah Agung menyebutkan terdapat tiga (3) hal yang menyebabkan pembatalan terhadap iuran kepesertaan dalam Perpres No 75 Tahun 2019, Pertama BPJS Kesehatan dalam memberikan pelayanan kepada peserta masih belum optimal, Kedua : MA menganggap tidak tepat terjadi kenaikan iuran di tengah kondisi melemahnya ekonomi masyarakat, sedangkan alasan Ketiga : MA meminta BPJS Kesehatan menyelesaikan persoalan ego sektoral dengan instansi pemerintah lain

Sangat tepat jika MA membatalkan Perpres No 75 Tahun 2019 tersebut mengingat selama ini BPJS Kesehatan belum secara transparan mengungkapkan kinerja serta bagaimana pola perbaikan pelayanan kedepannya, defisit selama ini diakibatkan karena banyaknya klaim dari Rumah Sakit akibat pengeluaran untuk tindakan kuratif dan rehabilitatif, jika BPJS Kesehatan dapat mengurangi defisit dapat dilakukan dengan menggencarkan pola promotif dan preventif pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (Puskesmas dan Klinik Pratama) sehingga pasien yang dirujuk ke FKTL dapat terkurangi sehingga biaya pengeluaran obat dan alat medis di FKTL (RS) dapat ditekan, tentunya BPJS Kesehatan harus membuat sistem yang bersandar pada reward and punishment terhadap FKTP, sehingga FKTP dapat terpacu untuk melakukan pola promotif dan preventifnya

Hal lainnya, dalam putusannya MA menilai tidak tepat kiranya jika kenaikan iuran kepesertaan BPJS Kesehatan dilakukan saat ekonomi masyarakat lemah, sehingga dapat membebani ekonomi keluarganya, apalagi keberadaan Perpres No 64 Tahun 2020 ini diterbitkan saat masih tingginya kasus Pandemi Covid 19 yang sangat memukul ekonomi bangsa Indonesia

Permasalahan yang terakhir adalah MA menilai dalam amar putusannya, kerjasama lintas sektor belum secara serius dilakukan koordinasi secara optimal, aturan tentang koordinasi lintas sektor dalam menjamin kesuksesan Jaminan Kesehatan Nasional sudah terdapat payung hukumnya yaitu  Peraturan Pemerintah No 86 Tahun 2013 khusunya Pasal 9 mencantumkan sanksi yang akan dijatuhkan baik kepada instansi pemberi kerja maupun masyarakat jika menunggak pembayaran iuran kepesertaan. Aturan tersebut secara tegas menyatakan jika terjadi tunggakan Iuran Kepesertaan BPJS sanksinya tidak akan mendapatkan pelayanan dalam hal ini berupa pengurusan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), Surat Izin Mengemudi (SIM), Serifikasi Tanah, ataupun Pengurusan Paspor, Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK)

Dalam hal ini harusnya pemerintah melakukan tindakan konkret berupa sinkronisasi antar lembaga, BPJS Kesehatan dan Instansi sektoral lainnya seperti Polri, Kemenkumham, Badan Pertarnahan Nasional ,maupun Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam ikut berperan demi suksesnya Jaminan Kesehatan Nasiona; (JKN) berdasar acuan Peraturan Pemerintah No 86 Tahun 2013 tersebut. Srhingga dengan diterbitkannya Perpres No 64 Tahun 2020,akan sangat rentan digugat kembali oleh komponen masyarakat di Mahkamah Agung, sehingga hal ini berimbas baik langsung maupun tidak langsung terhadap kredibilitas pemerintahan Jokowi Jilid II

 

Sumber Pustaka :

  1. Peraturan Pemerintah No 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja, SElain Penyelenggara Negara, Dan Setiap Orang Selain Pemberi Kerja, Pekerja, Penerima Bantuan Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional
  2. Keputusan Mahkamah Agung No 7 P/HUM/2020 atas Peraturan Presiden No 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Peraturan Presiden No 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan
  3. Peraturan Presiden No 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Peraturan Presiden No 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan
  4. Peraturan Presiden No 64 Tahun 2020 tentang perubahan kedua atas Peraturan Presiden No 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan