Artikel ini ditulis oleh Agus Perry Kusuma, S.Kg, M.Kes (Dosen Kesehatan Masyarakat, UDINUS)

Bermula dengan ditangkapnya Fidelis Arie Sudewato oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) Kabupaten Sanggau Provinsi Kalimantan Barat (KalBar) pada tanggal 19 Februari 2017, atas dugaan menanam ganja (cannabis sativa) sebanyak 39 pohon, sedangkan motif fidelis adalah untuk tujuan membantu mengurangi rasa sakit serta membantu bertahan hidup sang istri, yang divonis mengidap penyakit adanya kista berisi cairan di dalam sumsum tulang belakang (syringomyeila), atas tindakan yang dilakukan oleh Fidelis maka Pengadilan Negeri Sanggau mengganjar hukuman kurungan badan selama 8 bulan dengan denda sebesar 1 miliar subsider 1 bulan hal ini lebih berat dari tuntutan jaksa berupa kurungan badan selama 5 bulan denda sebesar 500 M subsider 1 bulan karena melanggar UU No 35 Pasal 111 dan 116 tentang narkotika, tepat di hari ke 32 penahanan Fidelis, istri tercinta meninggal karena efek ketergantungan terhadap narkotika  (regional.kompas.com)

Hal ini sengaja penulis angkat sebagai suatu masalah serius ditengah maraknya ide atau pendapat tentang legalisasi ganja khususnya untuk kepentingan medis/pengobatan, karena penulis melihat banyaknya silang sengkarut antar stakeholder yang berkepentingan tentang masalah ganja tersebut. BNN menyatakan bahwa alasan apapun ganja adalah merupakan masuk golongan narkotika  1 sesuai dengan UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 111, demikian pula pendapat dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan dengan alasan apapun ganja tidak bisa dijadikan obat, karena ditakutkan efek penyalahgunaannya disamping harus ada kejelasan seberapa besar takaran penyembuhan (dosis), disamping itu ganja tidak bisa dijadikan sebagai obat/medis, terkecuali jika memang sudah tidak ada alternatif pengobatan medis yang lain (news.okezone.com)

Khusus untuk hal yang bersifat memajukan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta dalam hal Pelayanan Medis, seperti tercantum dalam Pasal 7 UU No 35 Tahun 2009 maka penggunaan ganja diperbolehkan, akan tetapi yang menjadi bias apabila kita melihat  Pasal 8 UU No 35 Tahun 2009 yang mengatakan bahwa narkotika golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Akan tetapi, dalam jumlah terbatas, narkotika golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, untuk Pasal 7 dan Pasal 8 ini menjadi kontradiksi,disamping Pasal 8 terdapat penggunaan ganja dalam jumlah terbatas, hal ini juga akan menjadi sangat subyektif sekali untuk penggunaan ganja dalam jumlah terbatasnya.

Apabila kita meilhat perkembangan penggunaan ganja/mariyuana untuk kepentingan medis, kita bisa meniru kebijakan dari Negara Thailand dimana negara gajah putih tersebut telah melegalkan penggunaan ganja untuk kepentingan medis, dengan dikeluarkannya UU Khusus untuk penggunaan ganja secara medis, hal ini diikuti dengan Negara Filipina dan Malaysia,mereka rata-rata juga membentuk suatu Lembaga/Badan khusus yang diberikan otonomi untuk proses distribusi dari ganja/mariyuana untuk kebutuhan medis, sehingga mulai dari penanaman (produksi) hingga distribusi dapat terpantau.

 

 

 

 

Sehingga, jika dikaitkan dengan kondisi di Indonesia harusnya lembaga yang terkait misalnya BNN, MUI, BPOM, Kemenkes, Kemenkumham dan DPR duduk bersama untuk memformulasikan suatu aturan hukum yang baru, jelas serta tidak kontradiktif pasal per pasalnya, khususnya untuk mengakomodasi kepentingan penggunaan ganja bagi kepentingan medis, jika hal ini bisa terlaksana secara tidak langsung akan makin menumbuhkan penelitian-peneitian dalam kaitan penggunaan ganja untuk efek penyembuhan terhadap suatu penyakit.