Artikel ini ditulis oleh Agus Perry Kusuma, S.KG, M.Kes (Dosen Kesehatan Masyarakat UDINUS)

Dalam pernyataannya Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan bahwa seorang Direktur Rumah Sakit tidak harus seorang Tenaga Medis disebabkan karena kompetensi seorang Tenaga Medis hanya berkisar antara sepertiga dari seluruh kemampuan yang dibutuhkan oleh sebuah Rumah Sakit, sedangkan dua pertiga lainnya adalah kepada kemampuan peran tenaga teknis yang mengurusi peralatan kesehatan dan kemampuan sebagai pelaku hotelier, dalam instruksinya kepada Menteri Kesehatan  mengharapkan posisi direktur dalam sebuah Rumah Sakit tidak harus diisi oleh Tenaga Medis melainkan juga dari sisi Tenaga Non Medis  seperti dilansir dalam Harian Nasional republika.co.id, Rabu, 10 Juli 2019

Kemampuan hotelier ini bisa kita artikan sebagai kemampuan yang dimiliki oleh jajaran direksi dalam pengelolaan aspek layanan non medis beserta hospitalitynya karena sering kali disebutkan bahwa rumah sakit pengelolaannya hampir bisa disamakan dengan pengelolaan sebuah hotel hanya terdapat sisi tambahan (plusnya) berupa sisi layanan medis, terdapat permasalahan mendasar yang bisa kita telaah dari ucapan Jusuf Kalla tersebut

Permasalahan Pertama

Kebijakan yang dirasakan  terjadi “pemihakan” kepada Tenaga Medis dimulai dengan terbitnya UU No 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit,  kemudian disusul dengan terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan No 971 Tahun 2009 sebagai peraturan turunan dari Undang – undang tentang Rumah Sakit, sedangkan untuk proses akreditasi maka pemerintah khususnya Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) menerbitkan Surat Edaran No864/SE/KARS/VIII/2017 tentang Persyaratan Mutlak Kelulusan Akreditasi Rumah Sakit  dimana dalam poin satu (1) disebutkan syarat mutlak seorang Direktur Rumah Sakit adalah dari Tenaga Medis (dr/drg) yang kemudian melanjutkan ke jenjang pendidikan lanjutan (S2) dengan kemampuan/keahlian di bidang perumahsakitan

Dalam aturan-aturan hukum seperti yang disebutkan diatas tidak terdapat alasan atau dasar penjelasan satupun, yang dapat menjelaskan secara rinci, mengapa harus tenaga medis yang menjadi pucuk pimpinan dari sebuah rumah sakit, hal ini seakan menafikan kemampuan dari tenaga kesehatan yang lainnya, dikhawatirkan hal ini akan menimbulkan “sekat-sekat profesi” seperti dalam penelitian Ong (1989) menyebutkan pemimpin organisasi pelayanan kesehatan harus dapat mencari titik temu serta berupaya menghilangkan dikotomisasi baik antara tenaga medis dengan tenaga kesehatan lain, ataupun juga dengan tenaga non kesehatan, sehingga kemampuan mengorganisasi sangat diperlukan disini

 

Permasalahan Kedua

Seharusnya pemerintah lebih arif dalam menilai bahwa jumlah kebutuhan tenaga medis masih belum merata di wilayah Indonesia, sehingga dikhawatirkan jika mereka dengan kualifikasi Dokter/Dokter Gigi dijadikan sebagai direktur dapat berdampak langsung dalam pelayanan kesehatan terhadap masyarakat, sehingga seharusnya peran dari tenaga medis lebih didorong sebagai tenaga fungsional, bukan malah ditarik menjadi tenaga struktural   sebagai Direktur rumah Sakit

 

Permasalahan Ketiga  

Jika dilihat dari Permenkes No 971/MENKES/PER/XI/2009 tentang Standar Kompetensi Pejabat Struktural Kesehatan,, dimana memuat Standar Kompetensi Pejabat Struktural yang terdiri dari Kompetensi Dasar yang meliputi Integritas, Kepemimpinan, Perencanaan, Penganggaran, Pengorgaisasian, Kerjasama dan Fleksibel (Pasal 5), Kompetensi Bidang yang meliputi Orietasi Pada Pelayanan, Orientasi pada Kualitas, Berpikir Analitis, Berpikir Konseptual, Keahlian Teknikal, Manajerial, Profesional dan Inovasi (Pasal 6), kompetensi Khusus, meliputi Pendidikan, Pelatihan dan Pengalaman Jabatan (Pasal 7), sehingga seperti yang saya uraikan dalam aturan Permenkes No 971/MENKES/XI/ 2009 ini saya tidak menemukan sesuatu hal “pembeda” sehingga pemerintah mengharuskan Direktur Rumah Sakit harus seorang Tenaga Medis, karena baik Kompetensi Dasar, Kompetensi Bidang maupun dalam Kompetensi Khusus, dalam Permenkes ini merupakan suatu syarat yang lazim harus dipenuhi oleh seorang pimpinan organisasi apapun tidak  hanya Rumah Sakit

Sehingga dari hasil analisa permasalahan yang telah saya jelaskan, saya berkesimpulan bahwa tidak ada suatu perbedaan yang mendasar jika Direktur Rumah Sakit dijabat baik oleh tenga medis atau tenaga kesehatan yang lainnya, sehingga harusnya aturan yang mengatur tentang penetapan seorang direktur rumah sakit  dari tenaga medis haruslah  dicabut, dalam artian bukan menjadi jaminan jikalau renaga medis menjadi Direktur Rumah Sakit, maka otomatis kualitas manajerial akan lebih baik dibandingkan jika dijabat oleh Tenaga Kesehatan lainnya

Sumber :

1.Dwinanda, Reyni 2019 Wapres Sebut Direktur Rumah Sakit Tak Mesti Dokter [diunduh 25 Oktober 2019] https://nasional.republika.co.id/berita/puf25m414/wapres-sebut-direktur-rumah-sakit-tak-mesti-dokter

2.Undang – Undang No 36 Tahun 2014 tentang Teanga Kesehatan

3.Undang – Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

4.Peraturan Menteri Kesehatan No 971/MENKES/PER/XI/2009 tentang Standar Kompetensi Pejabat Struktural Kesehatan

5.Surat Edaran Komisi Akreditasi Rumah Sakit No 864/SE/KARS/VIII/2017 tentang Persyaratan Mutlak Kelulusan Akreditasi Rumah Sakit

4. Ong BN. Evolving perceptions of clinical management in acute hospitals in England. British Journal of Management 1998;9:199–210.

Gambar diambil dari https://www.liputan6.com/health/read/4011188/hilangkan-kesan-kaku-rs-di-indonesia-jadi-finalis-penghargaan-bergengsi-dunia