Artikel ini ditulis oleh Agus Perry Kusuma, S.Kg, M.Kes, Dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat UDINUS
Telah kita ketahui bersama seiring dengan penetapan UU No 24 Tahun 2011, tentang pembentukan BPJS Kesehatan sebagai satu-satunya badan yang diberi kewenangan oleh pemerintah dalam pengelolaan Asuransi Sosial khususnya dalam bidang kesehatan.Seiring, dengan bergulirnya waktu dimulai dari tahun 2014 hingga saat ini masih banyak ditemukan permasalahan dilapangan khususnya terhadap masalah klaim yang tidak terbayarkan oleh BPJS Keshatan kepada pihak rumah sakit sebagai Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKTRL), sehingga hal ini berdampak langsung dalam operasional rumah sakit (cash flow), dibawah ini disajikan jumlah defisit dari BPJS dari tahun 2014 – 2018
Tahun |
Total Defisit |
2014 |
3,3 T |
2015 | 5,7 T |
2016 | 9,7 T |
2017 | 9,75 T |
2018 | 12,1 T |
Sumber : BPJS.go.id
Berdasarkan data diatas tentulah nilai defisit punya kecenderungan yang makin membesar dari tahun ke tahun, hal ini diakibatkan karena masih belum tertanganinya penyakit-penyakit menular (infeksi) disaat bersamaan jumlah penyakit non menular juga kian meningkat (double burden) dan hal ini tentulah sangat menguras keuangan BPJS Kesehatan
Sehingga diharapkan pemerintah harus segera melakukan langkah – langkah secara tepat dan terukur untuk dapat mengurangi defisit Keuangan BPJS Kesehatan, langkah – langkah tersebut adalah
1.Meningkatkan kepesertaan aktif BPJS Kesehatan
Disini Pemerintah Pusat dapat melakukan langkah “pemaksa” khususnya bagi masyarakat yang sudah masuk dalam kepesertaan BPJS, akan tetapi peserta tersebut drop out, menunggak iuran, ataupun yang belum terdaftar dalam kepesertaan BPJS Kesehatan, dalam hal ini pemerintah dapat menjalankan aturan dalam PP No 86 Tahun 2013 secara konsisten tentang Tata cara pengenaan sanksi administrasi kepada pemberi kerja,selain penyelenggara Negara dan setiap orang selain pemberi kerja, pekerja, dan penerima bantuan iuran dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial,bagi pelanggar akan diberikan sangsi berupa tidak diberikannya akses mendapatkan pelayanan publik.
2.Meningkatkan Iuran Biaya Kepesertaan
Sudah saatnya terjadi kenaikan iuran kepesertaan kelas 3 menjadi Rp 35.000 dari iuran semula yang hanya Rp 25.500/bulan, maka akan terdapat penambahan dana dari kenaikan iuran kepesertaan Klas 3 BPJS Kesehatan tersebut sebesar 16 T karena jumlah kepesertaan di Indonesia berjumlah 100-120 juta orang, dasar kenaikan terjadi Karen aiuran kepsertaan sejak 2014 belum terjadi kenaikan sama sekali disamping itu juga karena tuntutan harga kebutuhan obat dan alat kesehatan, seta biaya jasa pelayanan yang mengalami kenaikan tahun demi tahun
3.Cost Sharing
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No 51 Tahun 2018, pemerintah akan menetapkan cost sharing khususnya untuk peserta yang pergunakan fasilitas rawat jalan Rumah Sakit dengan ketentuan sebagai berikut :
1.Kunjungan bagi pasien BPJS di Rumah Sakit Tipe A dan B akan ditarik pungutan Rp 20.000/kunjungan
2.Kunjungan bagi pasien BPJS di Rumah Sakit Tipe C dan Tipe D akan ditarik pungutan sebesar Rp 10.000/kunjungan
Dimana, kunjungan akan dibatasi maksimal dalam satu bulan sebanyak 20 kali kunjunganrawat jalan dengan nilai maksimal Rp 350.000
Sedangkan untuk tarif rawat inap ditetapkan besaran urun biaya sebesar 10% dari total biaya pelayanan kesehatan
4.Menyamakan besaran iuran untuk pekerja mandiri seperti dengan Pekerja Penerima Upah (PPU)
Hal ini berkaitan dengan prinsip keadilan, dimana khusus untuk Pekerja Penerima Upah (PPU) ditetapkan berdasar Peraturan Presiden No Tahun 2016 dengan besaran
Klas I jika pegawai mempunyai penghasilan antara Rp 4.000.000 – Rp 8.000.000
Klas II jika pegawai mempunyai penghasilan Rp 4.000.000
Klas III ditanggung pemerintah (PBI) atau non PBI
Hal ini juga bisa kita berlakukan untuk pekerja mandiri (PBPU) yang selama ini diberi kebebasan untuk memilih kelas kepesertaan BPJS (Klas 1/2/3) hal ini saya anggap ada ketidak adilan, seharusnya pemerintah bekerjasama dengan Dirjen Pajak untuk dapat mengetahui besaran pajak penghasilan dari pekerja mandiri (PBPU) tersebut, sehingga pekerja mandiri dapat diarahkan berdasarkan penghasilan rata-ratanya apakah masuk dalam kelas 1/2/3, hal ini sekaligus perlu langkah revisi kebijakan Peraturan Presiden No 19 Tahun 2016 dimana selama ini pekerja mandiri (PBPU) dibebaskan dalam penentuan kelas kepesertaannya
Sumber Pustaka :
- Undang – Undang No 24 tahun 2011 tentang BPJS Kesehatan
- Peraturan Pemerintah No 86 Tahun 2013 tentang Tata cara pengenaan sanksi administrasi kepada pemberi kerja,selain penyelenggara Negara dan setiap orang selain pemberi kerja, pekerja, dan penerima bantuan iuran dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial
- Peraturan Presiden No 19 Tahun 2016 tentang Peraturan Kedua Jaminan Kesehatan
- Peraturan Menteri Kesehatan No 51 Tahun 2018 tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Bayar dalam Program Jaminan Kesehatan