Artikel ini ditulis oleh Aprianti, SKM, M.Kes (Dosen Kesehatan Masyarakat UDINUS)
Mungkin masih melekat di dalam benak kita tentang UU yang kontroversial yaitu UU pernikahan Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dimana salah satu bunyi pasalnya adalah tentang batasan usia menikah. Usia minimal menikah untuk laki – laki 19 tahun dan untuk perempuan adalah 16 tahun pada UU Nomor 1 tahun 1974, ketentuan tersebut memungkinkan terjadinya perkawinan dalam usia anak pada anak wanita karena dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pelindungan Anak didefinisikan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Selain itu, batas usia dimaksud dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang sehat dan berkualitas. Diharapkan juga kenaikan batas umur yang lebih tinggi dari 16 (enam belas) tahun bagi wanita untuk kawin akan mengakibatkan laju kelahiran yang lebih rendah dan menurunkan resiko kematian ibu dan anak. Selain itu juga dapat terpenuhinya hak-hak anak sehingga mengoptimalkan tumbuh kembang anak termasuk pendampingan orang tua serta memberikan akses anak terhadap pendidikan setinggi mungkin.
Pertanya paling mendasar, sudah siapkah Indonesia untuk menerapkan UU No.16 ini jika kita melihat fakta presentase umur pertama berhubungan seksual pada wanita dan pria meningkat dari 59% dari hasil SDKI tahun 2012 menjadi 74% pada SDKI tahun 2017. Hal ini juga terjadi perubahan pada umur terbanyak pada umur 18 – 19 dari SDKI tahun 2012 menjadi umur 17 – 18 sebagai umur terbanyak pada SDKI 2017.
Hal tersebut dapat disebabkan karena pada era teknologi informasi yang maju pesat, makin terbuka akses remaja terhadap informasi, konten pornografi, pacaran dan budaya pergaulan bebas. Masalah tersebut dapat menimbulkan pergeseran sikap remaja termasuk terkait pengalaman seksual. Hubungan seksual pada remaja pastinya bisa berdampak pada kehamilan tidak diinginkan. Berdasarkan data dari SDKI Kehamilan tidak diinginkan dilaporkan oleh wanita kelompok umur 15 – 19 dua kali leboh besar (16%) dibandingkan kelompok umur 20 – 24 (8%). Laporan kejadian kehamilan tidak diinginkan dari pria tidak beda antara perkotaan dan pedesaan. Wanita (21%) dan pria (10%) dengan pendidikan tidak tamat SMA paling banyak melaporkan kehamilan tidak diinginkan. Persentase wanita di perdesaan yang melaporkan pernah mengalami kejadian kehamilan tidak diinginkan hampir 2 kali lebih besar (16%) dibandingkan wanita di perkotaan (9%).
Kejaidan kehamilan tidak diinginkan pada wanita lebih banyak terjadi di desa karena, masyarakat desa cenderung lebih menerima pernikahan muda sebagai dampak dari kehamilan tidak diinginkan. Hal ini sesuai dengan data Analisis survei penduduk antar sensus (SUPAS) 2005 dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) didapatkan angka pernikahan di perkotaan lebih rendah dibanding di pedesaan, untuk kelompok umur 15-19 tahun perbedaannya cukup tinggi yaitu 5,28% di perkotaan dan 11,88% di pedesaan. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena pernikahan dini banyak terjadi di desa.
Peneriman masyarakat desa terhadap pernikahan dini pada perempuan tidak terlepas dari pandangan subordinasi pada perempuan, yaitu perempuan hanya bekerja pada sektor domestik yang memiliki tanggung jawab untuk mengurusi rumah dan anak. Sehingga tidak ada tuntutan untuk perempuan memiliki pendidikan yang tinggi. Akibatnya jika terdapat perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan maka akan dinikahkan karena menganggap pendidikan tidak penting bagi perempuan. Bias gender tersebut dapat terjadi karena dominasi budaya patriarki yang dianut oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Selain itu dapat disebabkan salah dalam pemahaman agama. Kesalahan pemahaman agama tersebut, yaitu pertama pada umumnya umat islam lebih banyak memahami agama secara dogmatis, bukan berdasarkan penalaran yang kritis khususnya pengetahuan agama yang menjelaskan peranan dan kedudukan perempuan,kedua pada umumnya masyarakat memperoleh pengetahuan keagamaan melalui ceramah dari para ulama yang umumnya sangat bias gender, bukan berdasarkan kajian kritis yang mendalam terhadap sumber – sumber aslinya (Al – Qur’an dan Sunnah). Ketiga pemahaman tentang relasi laki – laki dan perempuan dimasyarakat lebih banyak mengacu kepada pemahaman tekstual terhapa teks – teks suci sehingga mengabaikan kontekstualnya yang lebih egalitir dan akomodatif terhadap nilai – nilai kemanusiaan.
Referensi :
Mulia SM. Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender. Asy’ari D Al, Huda M, editors. Yogyakarta: Kibar Press; 2007.
SDKI. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017. Jakarta: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2018.
Undang – undang Nomor 16 tahun 2019 tentang perkawinan
Gambar diambil dari