Artikel ini ditulis oleh Agus Perry Kusuma, S.Kg, M.Kes (dosen Kesehatan Masyarakat UDINUS)

Artikel ini saya buat bukan untuk menganalisis masuknya para nelayan China di Zone Ekonomi Ekskusif (ZEE) Indonesia, akan tetapi lebih menyoroti tentang aspek penanganan dari Warga Negara Indonesia (WNI) yang sedang bermukim di Wuhan, China. Setelah rapat terbatas yang dihadiri oleh Menteri Luar Negeri, Menteri Kesehatan, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Perhubungan, yang diputuskan untuk langkah tindakan evakuasi WNI dari Wuhan ke Indonesia dalam rapat tersebut tidak dijelaskan secara nyata langkah pemulangan dan penanganan selama di Indonesia  (liputan6.com)

Beberapa hari lewat berita media massa, kita digemparkan dengan maksud pemerintah dalam pemulangan WNI dari Wuhan dilakukan “observasi” selama 14 hari di Pulau Natuna. Hal ini tentu memantik konflik di kalangan penduduk Pulau Natuna sendiri, bahkan Wakil Bupati Natuna sendiri menolak kehadiran WNI dari Wuhan China ini, karena mereka merasa tidak pernah diajak berdiskusi atau bersosialisasi tentang rencana observasi WNI tersebut

Bila kita telusuri lebih jauh sebelumnya Indonesia sudah mempunyai pengalaman yang baik untuk penanganan kasus seperti Corona Virus ini, belum hilang dari ingatan kita dimana pada tahun 2002-2003 dunia juga diguncangkan dengan berita inveksi penyakit yaitu Server Acute Respiratory Syndrome (SARS). Ditemukan 8.000 kasus SARS dan 774 orang yang meninggal. Wabah ini telah menyebar ke negara lain di Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa dan Asia.Sedangkan antara corona virus dan SARS ini terdapat kesamaan yaitu sama dari keluarga Corona, kalau SARS penyakit ini disebarkan oleh manusia (human corona virus) sedangkan untuk Coron Virus sendiri disebarkan lewat kelelawar dan ular, disamping itu masa inkubasi dari Corona Virus antara 7-14 hari, sedangkan SARS 2-7 hari saja,sehingga jelaslah disini bahwa penanganan SARS jauh lebih rumit dan komplek dibandingkan dengan Corona Virus sekarang (cnbcindonesia.com)

Menjadi analisa saya, mengapa pada saat SARS sama-sama menjadi penyakit dunia, pemerintah pada saat itu begitu rapih dan sistematik bekerjanya, dimana menetapkan Rumah Sakit Pusat Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso sebagai rujukan tertinggi untuk penyakit SARS disamping menyiapkan Rumah Sakit di tiap provinsi untuk melakukan deteksi dan penanganan kasus SARS, pendapat banyak ahli menyatakan bahwa penyakit SARS jauh lebih berbahaya dibandingkan Corona Virus, akan tetapi penanganan SARS jauh lebih sederhana, tanpa harus melakukan proses observasi di Pulau Terluar (Natuna)

Bagi saya, pemerintah pusat menimbulkan ketakutan-ketakutan baru untuk warga di Indonesia, seakan-akan Corona Virus ini adalah penyakit yang sangat mematikan, selain itu dengan berkantornya dua menteri di Pulau Natuna yaitu Menteri Kesehatan dan Menteri Luar Negeri seakan-akan melegalkan pemikiran kita bahwa Corona Virus ini menjadi masalah yang dapat mempertaruhkan Bangsa Indonesia,

Beban tambahan lainnya adalah stigma yang akan menempel kepada para WNI yang diobservasi di Pulau Natuna selepas penanganan corona virus, disamping tindakan Pemerintah Pusat yang “slonong boy” tanpa koordinasi dan komunikasi dengan pemerintah daerah,yang akan berimbas pada kenyamanan warga Pulau Natuna itu sendiri, harga yang harus diterima Pemerintah Indonesia yang lain adalah banyak investor dari luar negeri yang  bersifat “wait and see”  untuk berinvestasi di Indonesia tentang dampak Corona Virus di Indonesia.

 

 

Sumber Berita :

https://www.liputan6.com/health/read/4164125/dibanding-mers-dan-sars-virus-corona-wuhan-dinilai-tidak-mematikan

https://www.liputan6.com/news/read/4167513/virus-corona-merebak-jokowi-evakuasi-wni-di-wuhan-diputuskan-sore-ini

https://www.cnbcindonesia.com/tech/20200128123210-37-133324/virus-corona-dibandingkan-dengan-sars-mana-yang-berbahaya

gambar diambil dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200202143652-20-470887/polisi-minta-warga-natuna-tak-tolak-karantina-wni-dari-wuhan