Artikel ini ditulis oleh M. Haikal Faqih, MKM (Dosen Prodi Kesehatan Masyarakat, Universitas Dian Nuswantoro)

“saya cuma bantu share dari grup sebelah”

“walaupun hoax, kita tetap harus waspada”

“untuk jaga diri”

“sekedar mengingatkan” dan “kembali ke pribadi masing-masing”

 

Hal diatas adalah beberapa respon dari pelaku hoax. Hoax yang tampak nyata di depan muka, ditangkal dengan bersilat lidah, sungguh hal yang menyebalkan.

Banyak hal yang menyebabkan seseorang dapat menjadi pelaku hoax, disadari maupun tidak. Hoax seperti menjelma sebagai seorang prajurit yang tidak pernah kenal lelah menyerang manusia. Semakin tumbuh kuat dan berlipat ganda disaat kemajuan teknologi informasi seperti saat ini.

Faktor umur, tingkat pendidikan dan jenis kelamin merupakan beberapa faktor yang tidak berhubungan terhadap kecenderungan orang untuk menyebarkan hoax (1). Hal tersebut menambah kerumitan dalam memahami fenomena hoax. Yang muda dan yang tua, yang tidak lulus sd atau sedang menempuh pendidikan tinggi, yang laki dan perempuan, kesemuanya memiliki kecenderungan untuk menyebarkan hoax.

Lalu, mengapa kita mesti waspada dengan hoax ?

Pada bidang kesehatan, hoax dapat menghambat perubahan perilaku seseorang dan mengancam nyawa. Misalnya, seseorang akan menolak vaksin karena menganggap bahwa vaksin dapat menyebabkan kelumpuhan, kematian (2), mengandung babi dan konspirasi dunia bla bla bla. Seorang anak yang seharusnya mendapatkan perlindungan dari penyakit setelah mendapatkan vaksin akhirnya tidak mendapatkan itu. Karena apa ? hoax informasi kesehatan.

Kasus yang lain misalnya, Covid-19 adalah konspirasi elit global, jangan percaya, tetap keluar rumah seperti biasa, jangan menjaga jarak, jangan menggunakan masker dan bla bla kemudian yang bersangkutan mengalami positif covid-19, happy ending.

Hoax tentang informasi kesehatan sangat berbahaya dan upaya mengatasinya pun tidak mudah. Menelisik beberapa fenomena terkait hoax dapat digunakan untuk bisa mengenal secara dekat dan memilih keputusan yang tepat.

Tom Nichols dalam buku Matinya Kepakaran pernah mengungkapkan bahwa kecenderungan kita untuk mencari informasi yang hanya membenarkan apa yang kita percayai, menerima fakta yang hanya memperkuat penjelasan yang kita sukai dan menolak data yang menentang sesuatu yang sudah kita terima sebagai kebenaran (3). Fenomena ini menjadi salah satu sebab kenapa kita masih bisa terjebak dalam perilaku menyebarkan hoax. Hal ini juga dapat menghantarkan kita menuju ruang gema (echo chamber), ruang yang tercipta secara otomatis serta memerangkap orang-orang yang berpandangan sama, mengkonsumsi informasi yang serupa dan hanya berbagi pendapat dengan orang-orang yang juga mengafirmasi pendapat kita. (4)

Mengapa fenomena tersebut dapat menyuburkan perilaku penyebaran hoax ?

Karena, mereka yang melakukan bias konfirmasi dan terjebak di ruang gema akan kesulitan untuk mencari pembanding. Sesuatu yang salah, jika terus diulang-ulang akan pula menjadi sebuah kebenaran. Menyampaikan kebenaran yang diyakini adalah sebuah kegemaran yang menyenangkan. Sebagai contoh, saya adalah loyalis tim sepakbola Inter Milan. Apapun yang menyangkut tim tersebut tidaklah boleh salah, harus terlihat benar, bagaimanapun cara pembelaannya. Walaupun 9 tahun tanpa mendapatkan gelar, saya akan terus membela karena menganggap bahwa gelar bukanlah standar klub tersebut sukses. Kemudian pada suatu waktu, klub tersebut (misalnya) terlibat pengaturan skor (calciopoli), saya akan terus membela dan menganggap bahwa hal ini adalah sebuah konspirasi agar klub saya tidak bisa berjaya. Yang pertama, saya telah menolak fakta (padahal fakta adalah salah satu instrumen kebenaran) dan yang kedua, saya telah membuang waktu secara cuma-cuma. Kebenaran walaupun menyakitkan, ialah tetap sebuah kebenaran. Kekeliruan dalam memahami kebenaran akhirnya mewujudkan ladang subur bernama hoax.

Perilaku penyebaran hoax memiliki keanekaragamannya tersendiri untuk bisa dipahami. Lalu, sebuah cara untuk bisa menanggulangi hoax yang tidak sudah-sudah ini juga membutuhkan kerja yang tidak ringan. Beberapa cara yang dapat dilakukan yaitu:

 

“Melatih diri untuk bersikap skeptis. Skeptis merupakan sikap untuk tidak percaya dan ragu-ragu terhadap suatu hal. mempertanyakan semuanya, menelisik sumbernya, mencari alternatif gagasan lainnya, kemudian melakukan verifikasi informasinya. Jika hanya melihat dari siapa yang mengabarkan, juga akan terjebak kedalam kebenaran bersumber otoritas (authority based truth). Penting untuk mempercayai sebuah argumentasi dari pendapat lembaga otoritas keilmuan. Hanya saja, tidak menjadikan satu-satunya argumentasi kebenaran. Kebenaran memiliki begitu banyak macamnya dan tidak seharusnya seseorang melakukan monopoli terhadap kebenaran.”

 

Informasi terkait virus Covid-19 yang begitu banyak jumlahnya, menjadi contoh untuk melihat bagaimana fenomena hoax dapat merumitkan penyelesaian pandemi. Pada 16 April 2020 dalam sebuah konferensi pers di BNPB, Achmad Yurianto (Juru Bicara Pemerintah terkait Covid-19) mengatakan Kemenkominfo sudah menemukan lebih dari 1.125 berita hoax terkait Covid-19 (5). Berita hoax ini akan menghambat perubahan perilaku seseorang. Padahal, perubahan perilaku sangatlah dibutuhkan untuk mengatasi penyebaran virus Covid-19.

WHO juga telah menyarankan empat strategi untuk mengatasi infodemi virus Covid-19. Infodemi merupakan kondisi di mana terdapat banjir informasi, baik akurat maupun tidak, yang membuat orang kesulitan menemukan sumber dan panduan tepercaya saat mereka membutuhkannya. (6) Empat Strategi yang dicetuskan oleh WHO ini juga bisa diterapkan untuk mengatasi penyebaran hoax kesehatan yang lain (yang tidak hanya tentang Covid-19).

Empat Strategi dalam mengatasi infodemi ini ialah mengidentifikasi kabar bohong, menyanggah pesan-pesan hoax dengan pesan yang dikemas secara mudah dan menarik, menyebarkan pesan-pesan akurat melalui media sosial dan menggandeng banyak partner dan mengevaluasi dampaknya secara berkala. (7)

Strategi tersebut menitikberatkan untuk melawan hoax dengan menyampaikan informasi yang akurat dan bergerilya di media sosial. Namun, yang menjadi kendala dalam penerapan ini ialah mengenai kemampuan masing-masing individu yang berbeda dalam mengemas informasi akurat dan membantu untuk menyebarkannya.

Secara ringkas, pendekatan lain yang dapat dilakukan sebagai individu untuk menanggulangi hoax yang bebalnya keterlaluan ini ialah “Melatih diri untuk selalu kritis terhadap semua informasi yang diterima, Melatih diri untuk menjauhi ruang gema informasi. mengkaji sumber berita termasuk penulis dan rekam jejak pemilik medianya, mengutamakan informasi dari organisasi keilmuan dan artikel-artikel ilmiah, mencari informasi yang berimbang, menggunakan beberapa sumber.”

Akhir kata, semoga kita (termasuk saya) terhindar dari perilaku menyebarkan dan memproduksi hoax. Amin.

Daftar pustaka

  1. Kunto Adi Wibowo, Detta Rahmawan EM. Penelitian di Indonesia: umur tidak mempengaruhi kecenderungan orang menyebarkan hoaks [Internet]. The Conversation. 2019 [cited 2020 May 27]. Available from: https://theconversation.com/penelitian-di-indonesia-umur-tidak-mempengaruhi-kecenderungan-orang-menyebarkan-hoaks-110621
  2. Lestari S. Akibat penolakan dan hoaks, imunisasi massal campak dan rubella MR diperpanjang [Internet]. BBC Indonesia. 2017 [cited 2020 Jan 23]. Available from: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41480450
  3. Nichols T. Matinya Kepakaran. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia; 2018.
  4. Bruns A. Echo chamber? What echo chamber? Reviewing the evidence. 2017;
  5. Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Republik Indonesia. Konferensi Pers Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. Jakarta; 2020.
  6. WHO. Novel Coronavirus(2019 nCoV) Situation Report – 13. Geneva; 2020.
  7. WHO. WHO ad-hoc online consultation on managing the COVID-19 infodemic [Internet]. Geneva; 2020. Available from: https://www.who.int/teams/risk-communication/who-ad-hoc-online-consultation-on-managing-the-covid-19-infodemic